Rabu, 09 Maret 2022

Serum Pencerah Wajah Terbaik Untuk Calon Pengantin

Serum Pencerah Wajah Terbaik adalah serum yang mampu membuat make up tidak longsor saat pernikahan. Bener nggak? Hehehe, bagi sebagian penata rias alias Make Up artis atau MUA, wajah calon mempelai pengantin perempuan yang lembab menjadi canvas yang nyaman untuk di permak saat pernikahan. Tapi ngga jarang, calon mempelai perempuan melakukan banyak cara agar kulitnya putih instan sehingga skin barier rusak dan malah make up jadi nggak nempel saat pernikahan.

Memilih Serum Pencerah Wajah Terbaik Untuk Calon Pengantin


Buat kamu yang mau menikah, sebaiknya memilih produk skincare dengan ciri-ciri sebagai berikut:


Rabu, 11 Februari 2015

Lima Tahun Lagi ~

Namanya Thio. Secara fisik ia cukup lebih dari ideal. Pertama kali aku jatuh cinta, ketika aku melihat wajahnya yang rupawan dan badannya yang proporsional. Siapapun tak akan menyangka usianya masih duapuluh satu tahun. Ia adalah salah satu staff junior di perusahaan yang sudah lima tahun aku tempati. Karena pekerjaanlah kami memiliki kedekatan hingga sedekat saat ini. Bisa dibilang aku sudah menjatuhkan pilihanku untuk menjadikannya pria yang akan aku lihat di setiap pagi saat aku membuka mata. Namun, tidak dengannya. Bukan karena ia tidak mencintaiku, tapi karena ia malu.

Perbedaan usia kami cukup jauh, aku lebih tua tujuh tahun darinya. Setiap kali kami bertemu dengan teman-temannya, selalu ada bisik-bisik seakan kami memiliki aib yang besar. Begitu juga jika kami bertemu dengan teman-temanku. Mereka beranggapan Thio hanyalah anak kecil yang mendekatiku demi materi.

Hal tersebut tak hanya kami rasakan di depan teman-teman kami, tapi juga keluarga kami.
“Thio itu bisa jadi Cuma mau numpang hidup sama kamu nit!” Itu ucapan yang aku dengar dari Ayah, sosok pria yang selama ini aku anggap paling bijak di dunia.
“Yaa kalaupun nanti dia ketemu dengan wanita yang lebih muda darinya, pasti kamu di duakan.. Sudahlah cari pria yang lebih dewasa..” Begitulah pesan Ibuku saat aku menanyakan bagaimana pendapatnya jika aku dan Thio akan menikah.

Dan thio-pun selalu diam jika aku menanyakan “Apakah kita akan menikah?”. Hanya senyuman manis sekaligus miris yang bisa ia berikan sebagai jawaban. Sampai pernah suatu hari aku memutuskan untuk mengabaikannya. Untuk meninggalkannya, mencari sosok baru yang benar-benar bisa aku jadikan imam dalam rumah tanggaku kelak.

“Kalau kamu memang nggak mau nikah ya bilang aja, nggak usahlah kita menjalani lagi hubungan yang nggak jelas arahnya ini!” Aku membuka percakapan saat kami sedang makan siang di sebuah restoran cepat saji.
“Umurku masih duapuluh satu Nit..” Thio menghentikan posisi makannya, ia mengalihkan padangannya padaku.
“Kamu duapuluh satu, semantara aku? Duapuluh delapan yo! Kamu belum siap nikah? Ya seenggaknya kita punya target kapan mau nikah..” aku mulai berkaca-kaca. Dari semua hal yang pernah menimpaku, membahas pernikahan adalah satu-satunya yang bisa dengan cepat membuatku mengeluarkan airmata.
“Lima tahun lagi?” Deg. Aku merasa tidak kuat, menghirup nafas dengan dalam untuk membuat kondisi yang nyaman. Tapi tak bisa, aku menangis.
“Kamu maunya kapan?” Thio mencoba menghapus air mataku. Aku diam, aku sendiri belum yakin dengan keputusanku, akupun tidak terlalu yakin dengan pilihanku.
“Nikah tuh nggak gampang, apalagi posisinya kaya kita nit.. Temen-temen kamu, temen-temen aku, keluarga kita, semuanya belum tentu bisa nerima hubungan kita.. Apalagi kalau kita nikah.. Kamu aja belum tentu nerima aku sepenuhnya kan? Kadang kamu masih ngerasa aku kaya anak kecil kan? Kadang juga kamu nggak yakin kalau aku bener-bener sayang kamu kan?” Aku tidak bisa menjawab semua yang Thio pertanyakan. Aku hanya tertunduk sambil menitikan air mata.
“Mungkin kita harus pikirkan dengan jernih lagi langkah kita selanjutnya. Jangan nangis yaa, make-upnya luntur nanti.. Yuk makannya di lanjutin dulu, nanti keburu jam satu loh!” Inilah yang kusuka dari Thio, ia selalu punya cara mencairkan suasana, ia selalu bisa membuat kekakuan menjadi canda yang menyenangkan. Aku nyaman dengannya meskipun umurnya jauh dibawahku. Tapi lima tahun lagi, apa aku sanggup menunggunya?

***

"Nunggu lima tahun lagi? Aaduuuh nitaaaaaa, please deh! Kredit mobil aja ada yang tiga tahun udah lunas, ini nunggu lima tahun cuma buat nikah sama dia? Emang cowo tinggal dia aja? Udah selesain aja urusan kalian. Nikah itu nggak boleh dilama-lamain.. Kalau udah ngejalanin hubungan yaa harus siap juga untuk nikah.. Gila kali yah nunggu lima taun!" Itulah komentar Endah, sahabat baikku. Aku hanya tersenyum mendengar komentarnya yang benar, namun hatiku tak bisa menerimanya. Karena untukku waktu lima tahun tidaklah lama. 
"Emang si Thio itu nunggu apa sih lima tahun lagi?" pertanyaan Endah juga adalah pertanyaanku. Mengapa harus menunggu Lima tahun???

***

"Aku masih harus berbakti sama orang tua nit, aku belum bisa bahagiain mereka, belum bisa ajak mereka jalan-jalan, belum bisa ngasih hadiah-hadiah.. Dan aku juga takut nanti kalau kita nikah aku makin jauh sama orang tua aku.. Kamu tahu kan aku ini anak sulung, harus jadi tulang punggung keluarga.." Itulah penjelasan Thio. Aku hanya diam, iya mungkin Thio belum memberikan banyak hasil jerih payah untuk kedua orang tuanya. Tapi apakah karena menikah, ia tak akan bisa memberikan materi pada orang tuanya. Apakah kelak aku sebagai istrinya tak memperbolehkan Thio membuat orang tuanya bahagia?

Aku sadar, kami belum sepenuhnya saling mengenal.

Rabu, 07 Januari 2015

Cerita Cinta : Perbedaan Agama

Namanya Dinda. Sejak pertama mengenalnya, aku merasakan hal yang berbeda. Hatiku bergetar, seakan ia adalah segala yang mampu membuat diriku selalu berbunga-bunga. Namun, mengapa kita harus berbeda?

Aku tahu, cinta berbeda agama adalah hal yang sangat rumit, lebih rumit dari rumus menghitung berapa berat Bumi saat ini. Aku tahu, kelak cinta yang saat ini aku rasakan hanya akan berakhir dengan perpisahan, karena aku tak mau memaksakan agama yang kuyakini menjadi agamanya juga.

Lalu aku harus bagaimana? Hubungan ini sudah terjalin hampir empat tahun. Dan aku masih selalu merasa nyaman dengannya. Hanya sesekali kami bermurung diri, bertengkar dalam hari, ketika bertanya "Kapan kami menikah?". Karena kami sama sekali tidak tahu jawabannya.

"Jika aku mengkhianati apa yang aku percayai kini, hanya untuk dirimu. Lalu mungkin saja suatu hari nanti aku mengkhianatimu karena ada cinta lain yang menggangguku. Jika Tuhan saja berani aku khianati, apalagi kamu?" Begitulah jawaban Dinda setiap kali kami bicara masalah yang tak ada jalan keluar lain selain perpisahan itu.

"Baiklah, kita selesai.." Aku ingin mengucapkan itu, namun hati kecilku tak mau. Aku masih mencintainya. Akankah Tuhan memaafkanku? Bukankah setiap agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama tanpa batasan agama?

Aah, pasti kalian akan mengucapkan "Kalau jodoh tak kan kemana.. Masih banyak wanita seiman." Sayangnya, bagiku itu tak berlaku. Mau'kah Tuhan menjodohkannya denganku tanpa harus membuat keyakinannya sama dengan keyakinanku? Tak ada yang tahu.

Sampai saat ini aku menunggu. Menunggu perubahan hatinya, atau perubahan hatiku sendiri. Mungkin saja, hati kami berdua berubah, tidak lagi saling mencintai, atau tidak lagi peduli pada aturan yang membuat kami terkekang. Mungkin saja kami menikah, dengan perbedaan agama yang kami miliki. Ya, mungkin saja. Segalanya mungkin. Bahkan mungkin Tuhan memisahkan kami dengan cara kematian.

Sabtu, 08 November 2014

Kami Ingin Menikah

Kami ingin menikah.
Menikah dengan sederhana untuk hidup yang bahagia. Kami tak ingin peduli dengan perkataan yang lainnya, jika nanti resepsi pernikahan kami dianggap sangat biasa. Kami tidak mau mengambil hati, tentang percakapan antara si ini dan si itu tentang resepsi pernikahan kami yang tak semeriah pernikahan yang lainnya.

Ayah,
Jika nanti saudara-saudari yang lain mengatakan resepsi pernikahan kami adalah resepsi pernikahan yang suram hanya karena tak di lakukan di gedongan, kami mohon abaikanlah. Karena kami hanya ingin melakukan pernikahan yang khidmat, sesuai syariat. Tak usahlah malu karena pernikahan kami tak menggunakan tirai-tirai tenda bergelimang bunga. Karena kami hanya ingin pernikahan yang sakral, sah menurut agama.

Bunda,
Jika nanti tetangga-tetangga mengatakan bahwa resepsi pernikahan kami seperti bukan sebuah pesta, kami mohon biarkanlah. Karena kami ingin pernikahan kami adalah pernikahan yang menjadi ibadah, bukan sebuah riya. Tak perlu rasanya membuat sebuah pesta mewah, karena kami ingin pernikahan kami menjadi berkah, sebuah ikatan yang menjalin ukhuwah. Bukan sebuah ajang pamer dekorasi nan megah.

Kami ingin menikah. Segera, secepatnya, untuk hidup yang lebih bahagia.