Rabu, 11 Februari 2015

Lima Tahun Lagi ~

Namanya Thio. Secara fisik ia cukup lebih dari ideal. Pertama kali aku jatuh cinta, ketika aku melihat wajahnya yang rupawan dan badannya yang proporsional. Siapapun tak akan menyangka usianya masih duapuluh satu tahun. Ia adalah salah satu staff junior di perusahaan yang sudah lima tahun aku tempati. Karena pekerjaanlah kami memiliki kedekatan hingga sedekat saat ini. Bisa dibilang aku sudah menjatuhkan pilihanku untuk menjadikannya pria yang akan aku lihat di setiap pagi saat aku membuka mata. Namun, tidak dengannya. Bukan karena ia tidak mencintaiku, tapi karena ia malu.

Perbedaan usia kami cukup jauh, aku lebih tua tujuh tahun darinya. Setiap kali kami bertemu dengan teman-temannya, selalu ada bisik-bisik seakan kami memiliki aib yang besar. Begitu juga jika kami bertemu dengan teman-temanku. Mereka beranggapan Thio hanyalah anak kecil yang mendekatiku demi materi.

Hal tersebut tak hanya kami rasakan di depan teman-teman kami, tapi juga keluarga kami.
“Thio itu bisa jadi Cuma mau numpang hidup sama kamu nit!” Itu ucapan yang aku dengar dari Ayah, sosok pria yang selama ini aku anggap paling bijak di dunia.
“Yaa kalaupun nanti dia ketemu dengan wanita yang lebih muda darinya, pasti kamu di duakan.. Sudahlah cari pria yang lebih dewasa..” Begitulah pesan Ibuku saat aku menanyakan bagaimana pendapatnya jika aku dan Thio akan menikah.

Dan thio-pun selalu diam jika aku menanyakan “Apakah kita akan menikah?”. Hanya senyuman manis sekaligus miris yang bisa ia berikan sebagai jawaban. Sampai pernah suatu hari aku memutuskan untuk mengabaikannya. Untuk meninggalkannya, mencari sosok baru yang benar-benar bisa aku jadikan imam dalam rumah tanggaku kelak.

“Kalau kamu memang nggak mau nikah ya bilang aja, nggak usahlah kita menjalani lagi hubungan yang nggak jelas arahnya ini!” Aku membuka percakapan saat kami sedang makan siang di sebuah restoran cepat saji.
“Umurku masih duapuluh satu Nit..” Thio menghentikan posisi makannya, ia mengalihkan padangannya padaku.
“Kamu duapuluh satu, semantara aku? Duapuluh delapan yo! Kamu belum siap nikah? Ya seenggaknya kita punya target kapan mau nikah..” aku mulai berkaca-kaca. Dari semua hal yang pernah menimpaku, membahas pernikahan adalah satu-satunya yang bisa dengan cepat membuatku mengeluarkan airmata.
“Lima tahun lagi?” Deg. Aku merasa tidak kuat, menghirup nafas dengan dalam untuk membuat kondisi yang nyaman. Tapi tak bisa, aku menangis.
“Kamu maunya kapan?” Thio mencoba menghapus air mataku. Aku diam, aku sendiri belum yakin dengan keputusanku, akupun tidak terlalu yakin dengan pilihanku.
“Nikah tuh nggak gampang, apalagi posisinya kaya kita nit.. Temen-temen kamu, temen-temen aku, keluarga kita, semuanya belum tentu bisa nerima hubungan kita.. Apalagi kalau kita nikah.. Kamu aja belum tentu nerima aku sepenuhnya kan? Kadang kamu masih ngerasa aku kaya anak kecil kan? Kadang juga kamu nggak yakin kalau aku bener-bener sayang kamu kan?” Aku tidak bisa menjawab semua yang Thio pertanyakan. Aku hanya tertunduk sambil menitikan air mata.
“Mungkin kita harus pikirkan dengan jernih lagi langkah kita selanjutnya. Jangan nangis yaa, make-upnya luntur nanti.. Yuk makannya di lanjutin dulu, nanti keburu jam satu loh!” Inilah yang kusuka dari Thio, ia selalu punya cara mencairkan suasana, ia selalu bisa membuat kekakuan menjadi canda yang menyenangkan. Aku nyaman dengannya meskipun umurnya jauh dibawahku. Tapi lima tahun lagi, apa aku sanggup menunggunya?

***

"Nunggu lima tahun lagi? Aaduuuh nitaaaaaa, please deh! Kredit mobil aja ada yang tiga tahun udah lunas, ini nunggu lima tahun cuma buat nikah sama dia? Emang cowo tinggal dia aja? Udah selesain aja urusan kalian. Nikah itu nggak boleh dilama-lamain.. Kalau udah ngejalanin hubungan yaa harus siap juga untuk nikah.. Gila kali yah nunggu lima taun!" Itulah komentar Endah, sahabat baikku. Aku hanya tersenyum mendengar komentarnya yang benar, namun hatiku tak bisa menerimanya. Karena untukku waktu lima tahun tidaklah lama. 
"Emang si Thio itu nunggu apa sih lima tahun lagi?" pertanyaan Endah juga adalah pertanyaanku. Mengapa harus menunggu Lima tahun???

***

"Aku masih harus berbakti sama orang tua nit, aku belum bisa bahagiain mereka, belum bisa ajak mereka jalan-jalan, belum bisa ngasih hadiah-hadiah.. Dan aku juga takut nanti kalau kita nikah aku makin jauh sama orang tua aku.. Kamu tahu kan aku ini anak sulung, harus jadi tulang punggung keluarga.." Itulah penjelasan Thio. Aku hanya diam, iya mungkin Thio belum memberikan banyak hasil jerih payah untuk kedua orang tuanya. Tapi apakah karena menikah, ia tak akan bisa memberikan materi pada orang tuanya. Apakah kelak aku sebagai istrinya tak memperbolehkan Thio membuat orang tuanya bahagia?

Aku sadar, kami belum sepenuhnya saling mengenal.